Jogja Report, Sleman — Pakar Sosiologi Kriminalitas UGM, Drs.Soeprapto, SU menyoroti sejumlah kejanggalan dalam kasus kematian diplomat Arya Daru Prasetya yang dinyatakan Polda Metro Jaya sebagai dugaan bunuh diri atau tidak terindikasi adanya tindak pidana.
Ia menilai penyelidikan harus dilakukan lebih mendalam karena terdapat beberapa aspek yang belum sepenuhnya terjawab secara rasional.
Salah satu poin yang disoroti adalah penggunaan lakban dalam kasus ini, yang disebut polisi identik dengan alat kerja korban. Namun, dari sudut pandang sosiologi kriminalitas, hal itu justru bisa dimanfaatkan oleh pelaku jika memang ada unsur kesengajaan dari pihak lain.
“Sangat mungkin, dari sisi kriminal, ada oknum yang ingin menghabisi nyawa korban dengan cara memanfaatkan hal-hal yang biasa dipakai korban dalam profesinya. Hal ini bisa untuk mengelabui seolah-olah kematian itu terjadi secara alami atau sesuai kebiasaan korban,” ujarnya saat dihubungi via telepon, pada Rabu 30 Juli 2025.
Soeprapto juga menyinggung fenomena di mana pelaku tindak kejahatan saat ini kerap mempelajari latar belakang korban terlebih dahulu sebelum menjalankan aksinya, termasuk kondisi kesehatan maupun profesi, agar kematian korban tampak alami di mata lingkungan sekitarnya.
“Misalnya pada kasus santet. Sekarang ini juga banyak orang ketika mau menyantet orang lain itu lihat dulu penyakitnya apa dia sering mengeluh kepalanya sakit jadu yang diserang kepalanya , perutnya sering mengeluh diserang perutnya. Sehingga ketika meninggal itu orang yang hidup atau lingkungannya tidak curiga. Dan ini juga itu karena di situ ada lakban, karena sangat mungkin dengan kondisi serapih itu perencanaannya itu cukup matang. Sehingga diketahui secara mendetail gitu apa yang dimiliki apa yang ada di dalam kamar dan apa yang bisa dimanfaatkan pada saat melakukan eksekusi,” urainya.
Lebih lanjut, Suprapto menyatakan, jika benar kematian Arya Daru adalah bunuh diri, maka pendekatan sosiologis dan psikologis dalam memetakan ekspresi manusia perlu dikaji ulang.
“Kalau betul ini bunuh diri, paradigma dalam psikologi, sosiologi, dan kriminologi harus dikoreksi. Karena ekspresi ketenangan korban tidak menunjukkan tanda-tanda keinginan bunuh diri. Itu aneh, bahkan tidak terdeteksi oleh mesin kejujuran. Kalau dalam bahasa sehari – hari, istilahnya dia bisa tersenyum dalam tangis dalam senyuman. Karena itu, saya tetap merasa bahwa aneh saja secara ekspresi dan pola perilaku bahwa ketenangan korban itu ternyata menyimpan keinginan bunuh diri. Itu menurut penalaran kami masih perlu ditanyakan,” ujarnya.
Selain itu, Soeprapto juga mempertanyakan durasi waktu antara korban meninggalkan kantor Kemenlu sekitar pukul 23.09 WIB dan sampai di kos-kosan hanya dalam waktu sekitar 20 menit.
“Jarak antara Kantor Kemenlu dan kos-kosannya itu harus dihitung secara detail. Karena untuk turun dari rooftop lantai 12, itu kan take time atau menghabiskan banyak waktu. Kalau hanya 18 sampai 20 menit, itu sangat singkat. Mudah – mudahan itu juga bisa menjadi bahan kajian bahwa kok waktunya sangat pendek itu. Padahal untuk turun dari lantai 12 kan butuh tak waktu ‘take time’ gitu ini saya kira yang juga kita perlu menjadi bahan masukkan jika ada peluang untuk tadi intervensi,” kritiknya.
Baca juga: Mengikat Janji Suci Di Senja Pantai Sundak
Ia juga mengkritisi pendekatan penyidikan yang hanya menekankan bahwa pintu kamar korban dalam kondisi terkunci dari dalam.
“Pintu terkunci bukan satu-satunya bukti bahwa tidak ada orang lain. Ada kemungkinan pelaku keluar melalui jendela vertikal yang bisa menutup sendiri ketika dilepas. Ini perlu dijadikan bahan kajian serius,” tegasnya.
“Jadi, saya meyakini bahwa pintu itu bukan menjadi analisa utama, ya mudah-mudahan bisa mengorek informasi dari penjaga kost itu karena juga kita tidak tahu ya seberapa dalam penjaga itu diwawancara,” sambungnya.
Sementara menanggapi pernyataan pihak keluarga, khususnya kakak ipar yang menyebut Arya tidak pernah bercerita soal beban pekerjaan, Soeprapto menilai hal tersebut bisa jadi bentuk perlindungan dari korban sendiri terhadap keluarga.
“Bisa jadi korban tidak ingin membuat istri atau keluarganya khawatir, karena apa yang ia hadapi dalam profesinya tidak bisa diceritakan sembarangan. Tapi bukan berarti tidak ada masalah,” katanya.
Dengan demikian, ia menekankan bahwa penyelidikan kasus kematian Arya Daru tidak boleh berhenti pada data permukaan, namun harus dilanjutkan hingga analisis dan interpretasi mendalam.
“Kalau hanya berhenti pada ‘ada problema (masalah)’ tanpa diurai, itu artinya kita hanya menyajikan data mentah, bukan analisis yang utuh,” pungkas Soeprapto. (*/ Olivia )